BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Konsep ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) sudah lama
dipikirkan dan dikembangkan secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di
luar negeri dengan berbagai varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas
(1920). Salah satu yang memikirkan konsep ekonomi kerakyatan adalah
M. Hatta yaitu sejak 1930 kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi
(Pasal 33 UUD 1945). Menurut Pasal 33 UUD 1945, ekonomi kerakyatan
adalah sebuah sistem perekonomian yang ditujukan untuk mewujudkan kedaulatan
rakyat dalam bidang ekonomi.
Tiga prinsip dasar ekonomi
kerakyatan adalah sebagai berikut:
1.
Perekonomian disusun sebagai usaha
bersama berdasar atas azas kekeluargaan
2.
Cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh
Negara
3.
Bumi, air, dan segala kekayaan
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan ketiga prinsip tersebut dapat disaksikan betapa
sangat besarnya peran negara dalam sistem ekonomi kerakyatan. Sebagaimana
dilengkapi oleh Pasal 27 ayat 2 dan Pasal 34, peran negara dalam sistem ekonomi
kerakyatan antara lain meliputi lima hal sebagai berikut: (1) mengembangkan
koperasi (2) Mengembangkan BUMN; (3) memastikan pemanfaatan bumi, air, dan
segala kekayaan yang terkandung didalamnya bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat; (4) memenuhi hak setiap warga negara untuk mendapatkan pekerjaan dan
penghidupan yang layak; (5) memelihara fakir miskin dan anak terlantar.
Akan
tetapi ekonomi
kerakyatan tidak bisa hanya sekedar prinsip maupun teori teori yang tidak diterapkan di
masyarakat. Perlu adanya pemnberian perhatian utama kepada rakyat
kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang
kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa
kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi
kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi
menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat
kecil adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang
benar. Tetapi yang
seharusnya dilakukan pemerinta adalah memberi pelatihan keterampilan dan modal
agar masyarakat dapat membuka lapangan pekerjaannya sendiri.
Selanjutnya,
pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya
pemerintah mengurangi bentuk campur tangannya untuk mendorong ekonomi kerakyatan
berkembang secara sehat. Kali ini kami akan membahas tentang pemberdayaan ekonomi
kerakyatan yang ada pada masyarakat kita.
BAB II
PEMBAHASAN
Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah
Sistem Ekonomi Nasional Indonesia yang berasas kekeluargaan, berkedaulatan
rakyat, bermoral Pancasila, dan menunjukkan pemihakan sungguh-sungguh pada
ekonomi rakyat.
Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi kerakyatan yang berkeadilan
sosial
· berdaulat di bidang politik
· mandiri di bidang ekonomi
· berkepribadian di bidang budaya
Yang mendasari paradigma pembangunan ekonomi kerakyatan yang
berkeadilan sosial
· penyegaran nasionalisme ekonomi
melawan segala bentuk ketidakadilan sistem dan kebijakan ekonomi
· pendekatan pembangunan berkelanjutan
yang multidisipliner dan multikultural
· pengkajian ulang pendidikan dan
pengajaran ilmu-ilmu ekonomi dan sosial di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi
“Ekonomi Rakyat oleh sistem monopoli disempitkan, sama
sekali didesak dan dipadamkan (Soekarno, Indonesia Menggugat, 1930: 31)”
Tujuan yang diharapkan dari penerapan Sistem Ekonomi
Kerakyatan
· Membangun Indonesia yang berdikiari
secara ekonomi, berdaulat secara politik, dan berkepribadian yang berkebudayaan
· Mendorong pertumbuhan ekonomi yang
berkesinambungan
· Mendorong pemerataan pendapatan
rakyat
· Meningkatkan
efisiensi perekonomian secara nasional
Ekonomi kerakyatan adalah sistem
ekonomi yang mengikutsertakan seluruh lapisan masyarakat dalam proses
pembangunan. Sistem ekonomi kerakyatan mencakup administrasi pembangunan
nasional mulai dari sistem perencanaan hingga pemantauan dan pelaporan. Sesungguhnya
ekonomi kerakyatan adalah demokrasi ekonomi yang dikembangkan berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 khususnya Pasal 33 beserta penjelasannya yang menyatakan
“Dalam pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh
semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat.
Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang per orang.
Sebab itu perekonomian disusun sebagaiusaha bersama berdasarkan azas
kekeluargaan. Bangun yang sesuai itu adalah koperasi. Perekonomian berdasar
atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang
produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak
harus dikuasai oleh Negara.
Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan
dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam
Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca:
memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh. Akhirnya saya sampai pada pemahaman
bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati
secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi. Kata rakyat
merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati
perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang
diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001). Ibarat kata
‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan gemuk atau
kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus. Persoalannya ada
begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular,
dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk
visualnya gemuk atau kurus. Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep
ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa
jumlahnya. Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak
untuk menyandang predikat ‘rakyat’. Buruh tani, konglomerat, koruptor pun
berhak menyandang predikat ‘rakyat’. Sama seperti jika seekor kucing
digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut
binatang. Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100
ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi
tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas
pikiran Prof. Mubyarto. Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang
seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia.
Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan
terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke
dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar.
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan
individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan. Kalau diterjemahkan dalam
konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan
ragaan ekonomi yang relatif sama. Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang
tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’. Menurutnya, ekonomi
rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat.
Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya
memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia
usaha. Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi
selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan
jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi
produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk
kepemilikan usaha secara pribadi. Karena kelompok usaha dengan karakteristik
seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia.
Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah
potensi ekonomi disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif
artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan
kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Perlu
dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi
(konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh
sebagian besar pelaku ekonomi rakyat. Memiliki modal yang besar, mempunyai
akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi
produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam
ekonomi kerakyatan?. Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan
representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya. Atau dengan kata
lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi
nasional. Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak
tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga
memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis.
Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih
menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui
pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta
membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang
melahirkan praktik-praktik anti persaingan.
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan
merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik menyebabkan
fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan
pasar. Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam
sistem ekonomi pasar. Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga
yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang.
Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap
kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah
implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam
sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri. Dalam pemahaman seperti
ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan
kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di
luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional.
Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk
dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai
keseimbangan dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang
disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan
ada. Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang
relatif bersifat utopis ini harus diabaikan. Persepektif yang perlu dianut
adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui
mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya,
minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan
adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai
regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.
Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk
diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat
tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian
teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi
kerakyatan. Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan
berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak
masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan
mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi
pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan
adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan
suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang
keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi.
Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi
nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi
regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri. Komitmen
pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar
pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar
(konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hasil yang
diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku
ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth)
(Gillis et al., 1987). Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional
masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha
besar perlu diubah. Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah
dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang
sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan
struktur ekonomi nasional. Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu
mendapat dukungan dari berbagai pihak. Hal yang masih kurang jelas dalam TAP
MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan
kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme
pasar? Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada
usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative
action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk
campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar? Ataukah pemerintah mulai
ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk
meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang
baru ?. Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis. Mau
meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih
ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara
maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar. Mau merujuk pada
bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada
satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan
keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli
kucing dalam karung). Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil
sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak
semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha
kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap
mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi,
jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa
kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan
disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan
pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri
tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik. Bentuk campur tangan
pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme
pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam
prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha
besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim.
Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok
industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan
akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada
akhirnya bermuara padaincapability dan inefficiency dari industri yang
bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif). Periode waktu
yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam
skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi
tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan
masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh
berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme
pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional.
Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut. Buktinya negara-negara
maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu
menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula. Sudah
menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa
negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security
jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok
masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi. Justru
negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar
(seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan
ekonominya secara mantap. Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial
temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari
memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan
dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme
pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi
kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb. Ini
yang namanyaaffirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme
pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi
kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah demi menjamin
bekerjanya mekanisme pasar. Yang disebut dengan affirmative action seharusnya
lebih dutujukkan padadisadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan
sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi
logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung
keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu
mekanisme sistem ekonomi yang baru. Ini sama artinya dengan “sakit di kaki,
kepala yang dipenggal”. Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita
mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti. Pada saat yang sama, rakyat sudah
terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan
pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama
pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat,
pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya
phasing-out processdiintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi
bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional.
Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek
keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif
keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang
sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?. Sejak awal saya katakan bahwa semua
pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan
koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR.
Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu
pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan
diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan,
partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan
pemerataan yang berkeadilan. Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi
Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas
lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan yang di dengungkan oleh
pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.
Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa
hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi
orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat.
Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama
kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu
merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa
kewirausahaan. Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan
membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi
kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak
membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam
perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada
rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil
sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000). Pendekatan seperti ini
jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action. Aksi
membagi-bagi uang secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan
koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme
pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud. Sebenarnya yang harus ada
pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam
suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material. Jika
pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan
yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang. Tidak terjadi proses
pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi
yang menjadi target affirmative action policy. Bahkan sangat mungkin terjadi
suatu proses yang bersifat counter-productive, karena asumsi awal yang dianut
adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan
Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi
disekelilingnya. Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun,
atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya
alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar. Modal dasar yang dimiliki inilah
yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat.
Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada
kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti
tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam
affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang
secara sehat. Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat
tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk
keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan
ekonomi rakyat. Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat
ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen
keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider. Justru kelompok ini yang enggan
mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat
dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan. Kita semua
masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan
pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR. Tapi kita lupa
bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud,
yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal. Kalau tidak,
maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang
terjadi selama masa pemerintahan orde baru.
Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam
pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah
terhadap UKM dan Koperasi. Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam
hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi. Beberapa kajian empiris
menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah:
keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan,
keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar,
keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di
dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi
masalah-masalah yang disebut di atas. Program pengembangan ekonomi rakyat
memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar
jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep. Hal ini perlu
ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti
pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di
atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program
operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses
kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural
(structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi
kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan
ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian
yang tinggi. Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi
kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam
perspektif territorial. Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif
‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan,
peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar
yang ‘mengurung’ para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di
dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan
rasionalisasi dan ekspansi usaha. Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan
ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik
oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi
sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam
ragaan usaha mereka. Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh
dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran
berpikir dan hasrat untuk maju. Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran
berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie,
2001). Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan Kredit
Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000. Jumlah realisasi KUT yang telah
disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6
milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar
(Laporan Gubernur NTT, 2002). Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di
NTT hanya mencapai kurang dari 26 %. Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro
Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang
demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM
dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan
yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya
dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat
di NTT secara turun temurun. Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi
perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang
usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan,
sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb. Oleh
karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program
pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program
rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life
dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan
pasar untuk maju. Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut
pendekatan kultural (cultural approach).
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
>>Sumber<<
ASSALAMU ALAIKUM.WR.WB.. SAYA TERMASUK ORANG YANG GEMAR BERMAIN TOGEL,SETELAH SEKIAN LAMANYA SAYA BERMAIN TOGEL AKHIRNYA SAYA MENEMUKAN NOMOR SEORANG PERAMAL TOGEL YANG TERKENAL KEAHLIANNYA DI SELURUH DUNIA,NAMANYA
BalasHapusKIYAI_PATI DAN SAYA BENAR BENAR TIDAK PERCAYA DAN HAMPIR PINSANG KARNA KEMARIN ANGKA GHOIB YANG DIBERIKAN OLEH KIYAI 4D DI PUTARAN SGP YAITU 1239 TERNYATA BETUL-BETUL TEMBUS. SUDAH 2.KALI PUTARAN SAYA MENAN BERKAT BANTUAN KIYAI
PADAHAL,AWALNYA SAYA CUMA COBA COBA MENELPON DAN SAYA MEMBERITAHUKAN SEMUA KELUHAN SAYA KEPADA KIYAI_PATI DISITULAH ALHAMDULILLAH KIYAI_PATI TELAH MEMBERIKAN SAYA SOLUSI YANG SANGAT TEPAT DAN DIA MEMBERIKAN ANGKA YANG BEGITU TEPAT..,MULANYA SAYA RAGU TAPI DENGAN PENUH SEMANGAT ANGKA YANG DIBERIKAN KIYAI ITU SAYA PASANG DAN SYUKUR ALHAMDULILLAH BERHASIL SAYA JACKPOT DAPAT 500.JUTA,DAN BETAPA BAHAGIANYA SAYA BERSUJUD-SUJUD SAMBIL BERKATA ALLAHU AKBAR…..ALLAHU AKBAR….ALLAHU AKBAR….SEKALI LAGI MAKASIH BANYAK YAA KIYAI,SAYA TIDAK AKAN LUPA BANTUAN DAN BUDI BAIK KIYAI, BAGI ANDA SAUDARAH-SAUDARAH YANG INGIN MERUBAH NASIB SEPERTI SAYA TERUTAMA YANG PUNYA HUTANG SUDAH LAMA BELUM TERLUNASI SILAHKAN HUBUNGI KIYAI_PATI DI NOMOR HP: 0852_1741_5657